Senin, 27 April 2009

Apakah Sastra?

Apakah Sastra?

Asih Sigit P (Yogyakarta State University)

Ilmu sastra merupakan ilmu yang istimewa. Bahkan Teeuw (2003) menilainya sebagai keanehan yang tidak terdapat dalam cabang ilmu pengetahuan yang lain, karena menurutnya objek utama penelitiannya tidak tentu, malahan tidak keruan (Teeuw, 2003:19). Mungkin inilah yang menyebabkan belum (tidak) terjawabnya pertanyaan yang paling mendasar dan hakiki dalam ilmu pengetahuan (Teeuw, 2003:19), yaitu “apakah sastra?”: pertanyaan yang selalu muncul dari para mahasiswa di perguruan tinggi. Pertanyaan (manusiawi) yang selalu muncul ini seringkali tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, karenanya, dalam bab ini, beberapa definisi sastra akan diperbincangkan.Definisi pertama yang didiskusikan adalah pendekatan sastra dari sudut pandang sastra sebagai bahasa tulis. Dalam bahasa-bahasa barat gejala yang akan didefinisikan disebut literature (Inggris), literatur (Jerman), littérature (Prancis), dan semuanya berasal dari bahasa Latin litteratura. Kata litteratura sebenarnya diciptakan sebagai terjemahan dari kata Yunani grammatika; litterature dan grammatika masing-masing berdasarkan kata littera dan gramma yang berarti “huruf” (tulisan, letter) (Teeuw, 2003:20). Menurut asalnya litteratura dipakai untuk tata bahasa dan puisi. Literature dan seterusnya dalam bahasa Barat moderen umumnya berarti “segala sesuatu yang yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis (20). Definisi ini juga diuangkapkan oleh Barnett yang mengatakan bahwa The word ‘literature’ can be used to refer to anything written (1993:1).Dari sudut pandang ini, banyak pertanyaan yang muncul. Bagaimana dengan pemakaian bahasa dalam resep masakan misalnya. Apakah resep masakah bisa disebut sastra? Tentu saja tidak. Oleh sebab itu definisi ini bisa dikatakan tidak memuaskan, karena definisi tersebut bisa terlalu luas. Sastra sebagai sesuatu yang ditulis bisa juga terlalu luas, karena sebuah buku tentang psikologi ataupun hukum bisa saja dimasukkan ke dalam sastra. Dan pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah di manakan posisi sastra lisan? Sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta. Akar kata sãs-, dalam kata kerja turunan berarti “mengarahkan, megajar, memberi petunjuk atau instruksi.” Akhiran –tra biasanya menunjukkan alat, sarana. Maka dari itu sastra dapat berarti “alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran” (20-21).Dari definisi sastra dalam bahasa Indonesia tersebut, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa bahwa diktat-diktat yang ditulis oleh para dosen di perguruan tinggi yang dipergunakan dalam kuliah bisa disebut sastra.Memang perdebatan mengenai “apakah sastra?” sudah berlangsung lama. Jawaban mengenai pertanyaan tersebut sebenarnya sudah berusaha untuk dijawab sejak jaman Yunani Kuno. Horare (65-8 BC), seorang penyair Yunani mendefinisikan sastra dari sisi tujuan utamanya. Ia mengatakan bahwa tujuan utama sastra adalah dulce et utile atau “to give either profit or delight, or to mix the giving pleasure with useful precepts for life” (Richard Dutton, 1991:25). Inipun tidak selalu memuaskan, karena apakah sastra selalu bertujuan untuk menyenangkan dan bermanfaat? Meskipun keberadaan sastra memang berawal dari “our inborn love of telling a story, of arranging words in pleasing patterns, of expressing in words some special aspect of our human experience” (Moody, H.L.B. (1987:2).Robert Frost, seorang penyair terkemuka Amerika menyebutkan bahwa sastra merupakan “performance in words.” (Barnett, 1963:1). Pendapat Frost mengindikasikan sastra harus memberikan kesenangan. Batasan yang diungkapkan Frost itu kemudian menjadi agak lemah ketika kita menghadapi puisi kotaknya Danarto yang berujud gambar sembilan kotak segi empat (Situmorang, 1983:72). Puisi Danarto ini juga melemahkan dikotomi sastra tulis dengan sastra lisan yang diungkapkan oleh Danziger dan Johnson yang mendefinisikan sastra secara umum sebagai “verbal art” (Danziger dan Johnson, 1961:1).Barnett lebih jauh menjelaskan bahwa sastra merupakan hal-hal yang berhubungan dengan imajinasi sehingga menjadi imajinatif (1963:1), seperti terlihat dalam genre sastra: puisi, fiksi dan drama, yang merupakan cerita rekaan. Pendapat Barnet yang mengatakan sastra sebagai hal yang imaginative seperti dalam fiksi-cerita yang tidak nyata - akan menimbulkan problematika tersendiri. Eagleton (1986:1) mengemukakan bahwa pembedaan antara “fakta dan fiksi” seringkali menimbulkan pertanyaan. Ia memberikan contoh, misalnya, Kesusastraan Inggris adab ke-17 tidak hanya memasukkan karya-karya William Shakespeare, Andrew Marvel ataupun Milton, tetapi juga esai-esai Francis Bacon, the khotbah-khotbahnya John Donne, ataupun Otobiografi spiritualnya John Bunyan. Contoh lain, misalnya sastra merupakan karya fiksi, maka “Ayat-Ayat Setan”nya Salman Rushdie tidak perlu dikutuk. Melihal hal tersebut, jelaslah bahwa membedakan antara mana yang nyata dan yang fiksi merupakan hal yang sangat sulit.Kesulitan dalam mengklaim karya sastra merupakan karya yang fiktif berangkat juga dari kenyataan-kenyataan bahwa banyak karya sastra yang ditulis berdasarkan fakta atau kenyataan, seperti: Julius Caesar karya Shakespeare dan Surapati karya Nur Sutan Iskandar. Eagleton juga menegaskan bahwa pembedaan antara kebenaran “sejarah” dan “artistic tidak dapat diberlakukan dalam Hikayat Islandia (Eaglton, 1986:1). Hal ini juga berlaku dalam ceritera Hikayat yang ada di Indonesia seperti Babad Tanah Jawa dan Pararaton, misalnya.Jika sastra didefinisikan sebagai sesuatu yang ‘kreatif’ atau ‘imaginatif’, hal ini masih menimbulkan perdebatan. Eagleton (1986:2) mempertanyakan apakah sejarah, philosophy dan ilmu-ilmu alam tidak kreatif dan imajinatif.Apabila sastra didefinisikan sebagai “any writing which has the power to move the reader’s heart and emotions”, definisi ini terlalu sederhana. Banyak tulisan-tulisan yang bukan masuk kategori sastra, seperti tulisan yang menceritakan kejadian bencana gempa bumi dan Tsunami yang melanda Aceh dan Sumatera Utara 26 Desember 2004 dan juga bencana alam gempa Bumi di Nias pada akhir Maret 2005, tidak menimbulkan emosi para pembacanya?Definisi yang lain mengatakan bahwa sastra adalah “the expression of beautiful thoughts and ideas in beautiful language.” Definisi ini tidak selalu dapat diterima. Pertama konsep mengenai keindahan yang jelas selalu menjadi relatif dan tidak tegas; kedua, tidak semua karya sastra berisikan pemikiran yangt besar. Contonya, puisinya Shakespeare yang berjudul Winter yang merupakan puisi pendek yang menggambarkan kehdupan sederhana dalam sebuah musim dingin di Inggris abad ke-16. Puisi ini hanya menggambarkan pemandangan yang sederhana. Contoh lain, sebuah novel The Glass Canoe, sebuah novel Australia berisaikan ekspresi keras dan kasar sorang laki-laki Australia. Bahasa yang digunakan dalam novel ini jauh dari kategori bahasa yang indah.Menurut Jakobson, sastra merupakan “a kind of writing which represents an organized violence committed on ordinary speech (and which) transforms and intensifies ordinary language and makes it deviate systematically fro everyday speech.” Jika pembatasan definfi sastra berdasar penyimapnag nbahasa yang ada, maka graffiti 9tulisanpada tembok-temob di tempat umum atau dalam toilet bisa diterima sebagai sastra, atau bentuk karta seni. Atau, ketika nilai karya sastra dilihat dari penggunaan bahasa yang orisinil, maka bahasa dalam iklamn bisa juga dimasukkan dalam kategori sastra.Meskipun berbagai macam ketidka jelasan, mungkin defifinsi terakhir ini bisa depetimbangkan. Sapardi Djoko Damono (2002:9-16) mengatakan bahwa “sastra merupakan produk busaya yang dalam masyarakat tertentu dan era tertentu dianggap sebagai karya sastra.” Pendapat ini berangkat dari kenyataan bahwa sastra bukan sesuatu yang “bebas”. Sastra terbatas pada masyarakat yabng mendukung keberadaannn6ya dan menjadi pembacanya juga. Peran dan fungsi sastra selalu diteima secara berbega menurut waktu atau jamannya dan masyarakatnya. Karya sastra masyarakat pribumi Australia, misalnya tidak mungkin dianggap sebagai karya sastra jika ditulis pada jaman Elixabeth dalam sejarah sastra Inggris. Bahkan. D>h, Lawrence’s Lady Chatterley’s Lover dulu diangap sebagai karya yang jorok dan dilarang benerapa tahun. Moby Dick pada saat penerbitan awalnya sama sekali tidak dianggap karya sastra yang beras. Karya-karya Pramodya Ananta Toer, misalnya dilarang beredar ketika dalam pemerintahan Soeahrto karena dianggap sebagai huku yang subversive.

Woman’s Values in Society as reflected in Marge Piercy’s “Barbie Doll”

Woman’s Values in Society as reflected in Marge Piercy’s “Barbie Doll”

by Asih Sigit Padmanugraha
Faculty of Languages and Arts
State University of Yogyakarta

Abstrak


Boneka Barbie merupakan simbol kecantikan perempuan yang dibangun oleh kapitalis dan media demi meraih keuntungan. Akibatnya para perempuan tidak menyadari pengaruh negatif yang banyak ditimbulkan, seperti kesehatan, pembodohan, fantasi berlebihan, dan yang paling penting adalah eksploitasi perempuan. Pengaruh negatif inilah yang memicu berbagai kritik terhadap keberadaan Boneka Barbie. Marge Piercy adalah seorang penyair Amerika yang sangat keras mengkritik keberadaan boneka barbie lewat salah satu puisinya “Barbie Doll.” Dengan menggunakan perpektif feminisme, artikel ini mengekplorasi pengaruh sosial dan budaya yang melatar belakangi keberadaan puisi ini. Puisi ini dipengaruhi oleh gerakan feminisme di Amerika pada tahun 1960an.
Persona dalam puisi ini adalah seorang gadis kecil yang harus kehilangan kebahagiaan ketika ia memasuki masa pubertas dan masyarakat menganggapnya tidak cantik. Nilai-nilai masyarakat inilah yang membuatnya berjuang keras demi mencapai kecantikan yang sesuai dengan keinginan masyarakat, kecantikan seperti Boneka Barbie. Pengaruh masyarakat ini sangatlah besar sehingga bunuh diri menjadi akhir yang memilukan bagi tokoh tersebut, namun ironisnya membahagiakan bagi masyarakat.
Piercy berhasil membandingkan perempuan dengan Boneka Barbie dalam puisi ini dengan menggunakan perbandingan, simbolisme dan ironi. Akhir tragis seorang gadis yang ingin terlihat cantik seperti Boneka Barbie mengindikasikan bahwa kecantikan perempuan seharusnya tidak dinilai dari penampilan fisiknya saja, tetapi dari pemikirannya, pengalaman hidupnya, sifat-sifatnya dan juga kearifannya.


Kata Kunci: Marge Piercy, boneka barbie, perempuan, masyarakat