- Character education is as old as education itself. Down through history, all over the world, education has had two great goals: to help people become smart and to help them become good.
- The American Founders believed that democracy has a special need for character education, because democracy is government by the people themselves. The people must therefore be good, must develop "democratic virtues": Respect for the rights of individuals, regard for law, voluntary participation in public life, and concern for the common good.
- In the early days of the republic, the Bible was the source book of both moral and religious instruction. When disputes arose over whose Bible to use, William McGuffey offered his McGuffey Readers as a way to teach schoolchildren the "natural virtues" of honesty, hard work, thriftiness, kindness, patriotism, and courage.
- Character education — instruction in virtue through edifying stories, the teacher's example, and discipline — remained a central part of the public school's mission until the middle part of the 20th century. It declined for several reasons:
- The rise of logical positivism ("There is no moral truth, no objective right and wrong") and moral relativism ("All values are relative")
- Personalism ("Each person should be free to choose his own values; who are we to impose our values?")
- Increasing pluralism ("Whose values should we teach?")
- The secularizing of society and the fear that teaching morality in the schools would mean teaching religion.
- In the 1960s and 70s, values education that emphasized "process" or thinking skills — clarifying your values (values clarification), reasoning about values (moral dilemma discussions), and decision making processes — replaced character education's traditional emphasis on moral content (learning right from wrong and acting rightly).
- As societal moral problems have worsened, character education has made a comeback. Adults realize that the young need moral direction. Parents and teachers have a responsibility to provide it — to pass on a moral heritage. The school has a responsibility to stand for good values and help students form their character around such values. Character education is directive rather than non-directive; it asserts the rightness of certain values — such as respect, responsibility, honesty, caring, and fairness — and helps students to understand, care about, and act upon these values in their lives.
Asih's Blog
Kamis, 05 Agustus 2010
The History of Character Education
Rabu, 04 Agustus 2010
flat and round character
characters as described by the course of their development in a work of literature. Flat characters are two-dimensional in that they are relatively uncomplicated and do not change throughout the course of a work. By contrast, roundcharacters are complex and undergo development, sometimes sufficiently to surprise the reader.
The two types are described by E.M. Forster in his book Aspects of the Novel (1927). The example he gives of a flat character is Charles Dickens’s Mrs. Micawber, of a round character William Thackeray’s Becky Sharp.
Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa
Mobil bekas adalah mobil yang pernah dipakai orang lain. Baju bekas pasti tidak lagi seindah pakaian baru, malah sering kali diberikan kepada orang lain saat bakti sosial. Manusia bekas? Setiap orang, selama bertahun-tahun, telah menjadi korban dari kata-kata orang lain. Orang tua, guru, teman, pimpinan, tokoh masyarakat, politisi, disadari atau tidak, telah membentuk alam pikiran kita menjadi seperti apa yang mereka katakan. Hebatnya, kita sendiri sangat menikmati hidup dalam belenggu kata-kata bekas orang lain itu. Mereka ini disebut Jiddu Krishnamurti, dalam bukunya yang sangat inspiratif, Freedom from the Known, sebagai manusia bekas (secondhand people).
Jika demikian yang dilakukan, tanpa terasa kita telah berubah menjadi entitas bekas. Potensi kemanusiaan telah tereduksi sedemikian rupa menjadi hanya sekadar wadah, tempat menaruh sesuatu. Kebiasaan menjadi wadah, berakibat kecenderungan konformitas lebih kuat daripada kreativitas. Produktivitas, karenanya, menjadi sesuatu yang sangat sulit terjadi. Orang lebih nyaman menjadi konsumen daripada bersusah payah berupaya untuk dapat menjadi produsen. Pendidikan kita selama ini, mohon maaf, sepertinya lebih banyak menghasilkan generasi yang pandai mengeluh, membebek, dan memintas. Perubahan paradigma pendidikan diperlukan secara lebih fundamental jika kita berharap bangsa ini dapat lebih produktif dan memilik daya saing global di masa depan. Kalau tidak, pendidikan di republik ini hanya akan terus melahirkan secondhand human being.
Pendidikan karakter yang efektif
Menurut Lickona dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan--sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat. Yang terpenting, semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti.
Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika inti. Karenanya, pendekatan holistik dalam pendidikan karakter berupaya untuk mengembangkan keseluruhan aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Siswa memahami nilai-nilai inti dengan mempelajari dan mendiskusikannya, mengamati perilaku model, dan mempraktekkan pemecahan masalah yang melibatkan nilai-nilai. Siswa belajar peduli terhadap nilai-nilai inti dengan mengembangkan keterampilan empati, membentuk hubungan yang penuh perhatian, membantu menciptakan komunitas bermoral, mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan merefleksikan pengalaman hidup.
Sekolah yang telah berkomitmen untuk mengembangkan karakter melihat diri mereka sendiri melalui lensa moral, untuk menilai apakah segala sesuatu yang berlangsung di sekolah mempengaruhi perkembangan karakter siswa. Pendekatan yang komprehensif menggunakan semua aspek persekolahan sebagai peluang untuk pengembangan karakter. Ini mencakup apa yang sering disebut dengan istilah kurikulum tersembunyi, hidden curriculum (upacara dan prosedur sekolah; keteladanan guru; hubungan siswa dengan guru, staf sekolah lainnya, dan sesama mereka sendiri; proses pengajaran; keanekaragaman siswa; penilaian pembelajaran; pengelolaan lingkungan sekolah; kebijakan disiplin); kurikulum akademik, academic curriculum (mata pelajaran inti, termasuk kurikulum kesehatan jasmani), dan program-program ekstrakurikuler, extracurricular programs (tim olahraga, klub, proyek pelayanan, dan kegiatan-kegiatan setelah jam sekolah).
Di samping itu, sekolah dan keluarga perlu meningkatkan efektivitas kemitraan dengan merekrut bantuan dari komunitas yang lebih luas (bisnis, organisasi pemuda, lembaga keagamaan, pemerintah, dan media) dalam mempromosikan pembangunan karakter. Kemitraan sekolah-orang tua ini dalam banyak hal sering kali tidak dapat berjalan dengan baik karena terlalu banyak menekankan pada penggalangan dukungan finansial, bukan pada dukungan program. Berbagai pertemuan yang dilakukan tidak jarang terjebak kepada sekadar tawar-menawar sumbangan, bukan bagaimana sebaiknya pendidikan karakter dilakukan bersama antara keluarga dan sekolah.
Pendidikan karakter yang efektif harus menyertakan usaha untuk menilai kemajuan. Terdapat tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian: (1) karakter sekolah: sampai sejauh mana sekolah menjadi komunitas yang lebih peduli dan saling menghargai? (2) Pertumbuhan staf sekolah sebagai pendidik karakter: sampai sejauh mana staf sekolah mengembangkan pemahaman tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk mendorong pengembangan karakter? (3) Karakter siswa: sejauh mana siswa memanifestasikan pemahaman, komitmen, dan tindakan atas nilai-nilai etis inti? Hal seperti itu dapat dilakukan di awal pelaksanaan pendidikan karakter untuk mendapatkan baseline dan diulang lagi di kemudian hari untuk menilai kemajuan.
Menjadi laksanawan
Meski tidak umum, pemunculan istilah laksanawan semoga tidak keliru--wan atau -wati adalah sebuah sufiks dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Sanskerta. Akhiran itu biasanya digunakan bersama-sama dengan kata benda, dan dapat berarti 'orang yang...' Dalam perkembangannya, akhiran -wan mengalami perluasan makna sehingga dapat berarti 'orang yang ahli dan berprofesi dalam bidang...' Misalnya, usahawan orang yang ahli dan berprofesi dalam bidang usaha tertentu. Oleh karena itu, laksanawan dimaksudkan sebagai orang yang ahli melaksanakan apa yang diyakini, orang yang berprofesi melaksanakan apa yang sudah menjadi keyakinan hidupnya. Manusia jenis itu tidak puas dengan hanya wacana. Inilah man of action, in the real meaning. Bersatu antara kata dan perbuatan.
Semoga pendidikan karakter tidak berhenti hanya wacana karena tidak termasuk dalam program 100 hari pemerintah SBY-Boediyono. Pada poin 13, reformasi di bidang pendidikan, hanya disebut: 'Menyambungkan atau mencegah mismatch antara yang dihasilkan lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan dan keperluan pasar tenaga kerja. Banyak yang dihasilkan perguruan tinggi, oleh sekolah-sekolah kejuruan, oleh balai-balai latihan kerja, tidak selalu klop dengan yang diminta pasar tenaga kerja.' Lagi-lagi hanya soal pekerjaan, lalu di mana pendidikan karakter? Who knows?
Oleh Khoiruddin Bashori, Pengamat dan Psikolog Pendidikan
http://www.mediaindonesia.com/
Pendidikan Karakter Sebagai Pondasi Kesuksesan Peradaban Bangsa.
Written by Yoggi Herdani |
Thursday, 03 June 2010 07:46 |
Pendidikan karakter kini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter ini pun diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Di lingkungan Kemdiknas sendiri, pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di seluruh jenjang pendidikan yang dibinannya. Tidak kecuali di pendidikan tinggi, pendidikan karakter pun mendapatkan perhatian yang cukup besar, kemarin (1/06) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengadakan Rembuk Nasioanal dengan tema “ Membangun Karakter Bangsa dengan Berwawasan Kebangsaan”. Acara yang digelar di Balai Pertemuan UPI ini, dibidani oleh Pusat Kajian Nasional Pendidikan Pancasila dan Wawasan Kebangsaan UPI. Selain Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Prof.dr.Fasli Jalal, Ph.D, hadir pula menjadi pembicara seperti Prof.Dr.Mahfud,MD,SH, SU. Prof.Dr.Jimly Asshiddiqie, SH. Prof.Dr.Djohermansyah Djohan, M.A. Prof.Dr.H.Sunaryo Kartadinata,M.Pd. Prof.Dr.H.Dadan Wildan, M.Hum dan Drs. Yadi Ruyadi, M.si. Wamendiknas dalam acara ini mengungkapkan arti penting pendidikan karakter bagi bangsa dan negara, beliau pun menjelaskan bahwa pendidikan karakter sangat erat dan dilatar belakangi oleh keinginan mewujudkan konsensus nasional yang berparadigma Pancasila dan UUD 1945. Konsensus tersebut selanjutnya diperjelas melalui UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.” Dari bunyi pasal tersebut, Wamendiknas mengungkapkan bahwa telah terdapat 5 dari 8 potensi peserta didik yang implementasinya sangat lekat dengan tujuan pembentukan pendidikan karakter. Kelekatan inilah yang menjadi dasar hukum begitu pentingnya pelaksanaan pendidikan karakter. Wamendiknas pun mengatakan bahwa, pada dasarnya pembentukan karakter itu dimulai dari fitrah yang diberikan Ilahi, yang kemudian membentuk jati diri dan prilaku. Dalam prosesnya sendiri fitrah Ilahi ini dangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sehingga lingkungan memilki peranan yang cukup besar dalam membentuk jati diri dan prilaku. Oleh karena itu Wamendiknas mengatakan bahwasanya sekolah sebagai bagian dari lingkungan memiliki peranan yang sangat penting. Wamendiknas menganjurkan agar setiap sekolah dan seluruh lembaga pendidikan memiliki school culture , dimana setiap sekolah memilih pendisiplinan dan kebiasaan mengenai karakter yang akan dibentuk. Lebih lanjut Wamendiknas pun berpesan, agar para pemimpin dan pendidik lembaga pendidikan tersebut dapat mampu memberikan suri teladan mengenai karakter tersebut. Wamendiknas juga mengatakan bahwa hendaknya pendidikan karakter ini tidak dijadikan kurikulum yang baku, melainkan dibiasakan melalui proses pembelajaran. Selain itu mengenai sarana-prasaran, pendidikan karakter ini tidak memiliki sarana-prasarana yang istimewa, karena yang diperlukan adalah proses penyadaran dan pembiasaan. Prihal pengembangannya sendiri, Wamendiknas melihat bahwa kearifan lokal dan pendidikan di pesantern dapat dijadikan bahan rujukan mengenai pengembangan pendidikan karakter, mengingat ruang lingkup pendidikan karakter sendiri ssangatlah luas. Sehari sebelum acara yang digelar di UPI ini ( 31/05), di Ruang Rapat Komisi X, DPR-RI, diadakan Rapat Kerja yang membahas pendidikan karakter. Hadir dirapat tersebut selain 25 anggota fraksi, adalah Menkokesra, Mendiknas, Menag, Menbudpar, Menpora, Wamendiknas, Perwakilan Kementerian Dalam Negeri, serta para pejabat eselon 1 kementerian terkait. Dalam Rapat Kerja tersebut dibahas mengenai kesiapan masing-masing kementerian mengenai pendidikan karakter tersebut. Menkokesra sebagai koordinator perumus pendidikan karakter ini menyebutkan bahwa setiap kementerian yang terikat memiliki program-program berencana mengenai pendidikan karakter yang nantinya diajukan sebagai bahan untuk mengagas lahirnya Keppres mengenai pendidikan karakter. Menkokesra pun menyebutkan bahwa nantinya pendidikan karakter ini akan dijadikan aksi bersama dalam pelaksanaannya. Para anggota fraksi pun melihat pendidikan karakter ini sangat penting dalam membentuk akhlak dan paradigma masyarakat Indonesia. Semoga pendidikan karakter ini tidak hanya menjadi proses pencarian watak bangsa saja, melainkan sebagai corong utama titik balik kesuksesan peradaban bangsa. |
http://www.dikti.go.id/
'Quo Vadis' Pendidikan Karakter?
Kamis, 5 Agustus 2010
Oleh Edy M. Ya'kub
KOMPAS.com — Siapa yang tidak mengelus dada melihat pelajar yang tidak punya sopan santun, suka tawuran, bagus nilainya untuk "pelajaran" pornografi, senang narkotika, dan hobi begadang dan kebut-kebutan.
Itu jenis kenakalan pelajar yang paling umum, sedangkan kenakalan lainnya antara lain senang berbohong, membolos sekolah, minum minuman keras, mencuri, aborsi, berjudi, dan banyak lagi.
Namun, pelajar yang patut dibanggakan juga ada, seperti mereka yang menjuarai olimpiade sains, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Bahkan, pelajar Indonesia menjadi juara umum dalam International Conference of Young Scientists (ICYS) atau Konferensi Internasional Ilmuwan Muda se-Dunia yang diikuti ratusan pelajar SMA dari 19 negara di Bali pada 12-17 April 2010.
Agaknya, fakta yang ada menunjukkan pendidikan karakter bagi pelajar Indonesia sudah sangat penting untuk dicanangkan kembali dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada 2 Mei 2010.
Hal ini pun mengingat, kritik terhadap pendidikan formal yang ada di Indonesia sudah banyak dilontarkan.
Misalnya, pendidikan di Indonesia disebut-sebut hanya melahirkan ahli matematika, fisika, dan kimia, tetapi lulusannya tidak memiliki karakter.
"Faktanya, pengangguran terdidik di Indonesia saat ini mencapai 1,2 juta orang, sedangkan pengangguran tak terdidik hanya 700 orang," kata konsultan kewirausahaan, Imam Supriyono di Surabaya.
Dalam seminar pendidikan bertajuk Pendidikan dan Dunia Kerja yang digelar HMI Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Surabaya, pemimpin SNF Consulting itu menilai bahwa fakta yang ada membuktikan pendidikan di Indonesia sangat formalistik.
"Padahal, bangsa Indonesia dengan jumlah penduduk yang mencapai 225 juta jiwa dengan penduduk miskin cukup besar itu membutuhkan pendidikan karakter," ucapnya.
Penulis sejumlah buku pendidikan dan kewirausahaan itu mengatakan, karakter yang diharapkan lahir dari dunia pendidikan adalah karakter yang jujur, tidak minta-minta, dan mampu menemukan jati diri.
"Kalau pendidikan hanya mengukur seseorang dari aspek nilai matematika, fisika, dan kimia maka pendidikan di Indonesia tidak akan melahirkan karakter," ujarnya.
Pendidikan karakter
Masalahnya, quo vadis (ke manakah perginya) pendidikan karakter dalam kurikulum pendidikan di Tanah Air tercinta?!
"Pendidikan karakter itu jangan seperti dulu lagi, seperti pendidikan Pancasila yang dimasukkan dalam mata pelajaran," kata artis yang juga praktisi pendidikan, Dewi Hughes, kepada ANTARA di Surabaya.
Di sela-sela orientasi peningkatan kapasitas kelembagaan dan penyelenggaraan program pendidikan masyarakat di Surabaya, presenter berbagai mata acara televisi itu menilai pendidikan karakter tidak boleh ada secara khusus.
"Karakter itu enggak boleh khusus, tapi dimasukkan dalam kurikulum pada semua mata pelajaran, misalnya pendidikan budaya, agama, ekonomi, matematika, kewirausahaan, dan sebagainya," tutur pemilik PKBM/TBM E-Hughes itu.
Misalnya, pelajaran ekonomi atau kewirausahaan harus diberi "selipan" materi yang mengajarkan tentang kejujuran, kepercayaan, keberanian, dan sebagainya.
"Kalau pada pendidikan formal yang bersifat khusus seperti Pancasila atau budi pekerti, saya kira pendidikan karakter akan justru sulit masuk karena hanya menjadi pengetahuan atau hapalan," ucapnya.
Oleh karena itu, katanya, kurikulum untuk semua mata pelajaran harus diberi muatan tentang pendidikan karakter di dalamnya. Pandangan itu dibenarkan pengamat pendidikan dari ITS Surabaya, Daniel M Rosyid PhD.
"Dalam dua dekade terakhir, pendidikan di Indonesia mengalami dis-orientasi, karena pendidikan di Indonesia justru mengarah kepada dunia industri seperti yang pernah terjadi di Amerika dan Inggris pada 30 tahun lalu," katanya.
Padahal, kata mantan Ketua Dewan Pendidikan Jatim itu, disorientasi dalam dunia pendidikan di Indonesia itu justru menjauhkan pendidikan dari dunia industri.
"Saya kira, disorientasi harus diatasi secara de-schooling atau mengarahkan pendidikan sebagai ihtiar dalam pelayanan atas kebutuhan masyarakat, terutama masyarakat pelajar dan orangtua mereka," katanya.
Agaknya, pendidikan di Indonesia sudah saatnya untuk memihak kepada kompetensi, baik kompetensi keahlian maupun kompetensi karakter; bukan hanya kompetensi matematika, kimia, fisika, dan sejenisnya, melainkan justru dua kompetensi, yakni keterampilan dan karakter.