Rabu, 10 Desember 2008

Menerjemahkan puisi

Asih Sigit Padmanugraha
Prodi Bahasa dan Sastra Inggris, FBS, UNY

ABSTRAK

Meski tidak bisa dielakkan keberadaannya karena keterbatasan penutur bahasa, munculnya berbagai keluhan dalam membaca karya terjemahan merupakan bukti bahwa menerjemahkan memang pekerjaan yang sangat sulit. Selain bahasa, penerjemah juga harus menerjemahkan muatan budaya yang ada di dalamnya. Oleh karenanya, menerjemahkan bukan saja merupakan ilmu tetapi juga seni. Kemampuan penerjemah dalam pemahaman isi teks dan muatan budayanya sangat dituntut. Penerjemah tetap merupakan figur yang tidak bisa dipandang sebelah mata, apalagi penerjemah karya sastra terutama puisi. Dibandingkan dengan genre sastra yang lain, puisi bisa dianggap yang paling sulit untuk diterjemahkan, karena penerjemah tidak hanya mentransfer makna tetapi juga memperhatikan keindahan bentuknya.
Artikel ini ditulis untuk mengkaji pengalaman Sapardi Djoko Damono dalam menerjemahkan “The Hollow Men” karya T.S. Eliot. Sebagai salah satu penyair yang berpengaruh pada abad ke-20, Eliot memenangkan hadiah Nobel dalam bidang Sastra pada tahun 1948. Dengan kombinasi metafisika dan kompleksitas intelektual yang tinggi ia berperan besar dalam perkembangan puisi moderen di Inggris dan Amerika. Artikel ini menjadi cukup penting karena penerjemah adalah seorang penyair yang sangat produktif, seorang budayawan dan sekaligus professor.
Analisis dalam artikel ini akan difokuskan pada piranti puitis yakni bahasa kiasan dalam “The Hollow Men” dan realisasinya dalam “Orang-Orang Kosong” karya Sapardi. Piranti puitis memiliki peranan penting karena berfungsi menjembatani terjadinya bagi pengalaman antara penyair dan pembaca. Dasar analisis dalam artikel ini adalah konsep penerjemahan yang ditawarkan oleh Newmark (1988), konsep bahasa kiasan sebagaimana dijelaskan oleh Perrine (1977) dan Kennedy (2002), dan konsep tingkatan bahasa oleh Catford (1965).
Dari analisis yang dilakukan, penulis melihat bahwa Sapardi berhasil merealisasikan bahasa kiasan ke dalam terjemahannya. Bahasa kiasan dominan yang muncul adalah simbol yang memang menjadi karakteristik kedua karya tersebut. Sedangkan dari sisi tingkatan bahasa, tingkat kalimat mendominasi dan diikuti oleh tingkatan kelompok. Selain itu, ekspresi-ekspresi dalam terjemahan Sapardi hampir semuanya terrealisasi dalam jenis kalimat yang sama. Akhirnya, bisa diambil kesimpulan bahwa pembaca “Orang-Orang Kosong” akan merasakan kompleksitas struktur yang hampir sama dengan karya aslinya “The Hollow Men,” sehingga pembaca akan merasakan pengalaman seperti membaca karya aslinya. Sungguh, pengalaman Sapardi layak dijadikan pelajaran.

Kata Kunci: Sapardi, terjemahan puisi, bahasa kiasan, simbol

Tidak ada komentar: